Arus pengungsi ke Thailand dari Myanmar telah meningkat drastis menyusul pemberlakuan undang-undang wajib militer oleh junta militer. Ribuan warga Myanmar, terutama kaum muda, memilih untuk meninggalkan tanah air mereka demi menghindari panggilan militer yang bisa memaksa mereka terlibat dalam konflik internal. Fenomena ini menciptakan krisis kemanusiaan baru di perbatasan, menjadikan arus pengungsi ke Thailand sebagai isu mendesak.
Pemberlakuan wajib militer bagi pria berusia 18-35 tahun dan wanita 18-27 tahun memicu kepanikan massal. Banyak warga Myanmar yang tidak ingin terlibat dalam perang saudara atau khawatir akan keselamatan mereka. Akibatnya, mereka mencari perlindungan di negara-negara tetangga, dengan Thailand menjadi tujuan utama karena kedekatan geografis dan historis. Ini mempercepat arus pengungsi ke Thailand.
Sebagian besar pengungsi tiba di Mae Sot, sebuah kota perbatasan di Thailand, setelah melarikan diri dari wilayah Myawaddy di Myanmar. Perjalanan yang mereka tempuh seringkali penuh risiko, melewati jalur-jalur tidak resmi dan menghindari pos pemeriksaan junta. Mereka mempertaruhkan segalanya demi menghindari kewajiban militer yang bisa berujung pada penugasan di garis depan.
Pemerintah Thailand tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi peningkatan arus pengungsi ke Thailand ini. Meskipun ada upaya untuk menindak imigran ilegal, banyak pihak berwenang di perbatasan yang dilaporkan “menutup mata” terhadap kedatangan para pengungsi. Hal ini terjadi karena Thailand juga membutuhkan tenaga kerja murah dari Myanmar, menciptakan situasi yang kompleks.
Selain menghindari wajib militer, beberapa pengungsi juga melarikan diri karena takut akan serangan udara dan pertempuran yang intens antara militer junta dan kelompok-kelompok pemberontak. Suara ledakan dan tembakan yang terus-menerus membuat banyak warga sipil merasa tidak aman di kampung halaman mereka, mendorong mereka untuk bergabung dalam arus pengungsi ke Thailand.
Organisasi hak asasi manusia dan lembaga kemanusiaan telah menyuarakan keprihatinan atas nasib para pengungsi ini. Mereka membutuhkan bantuan mendesak berupa makanan, tempat tinggal, dan akses kesehatan. Situasi ini menuntut respons kemanusiaan yang terkoordinasi dari komunitas internasional.
Dengan panjangnya perbatasan antara Myanmar dan Thailand yang mencapai 2.414 kilometer, masih banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh para pengungsi.