Dalam dunia forensik modern tahun 2025 ini, kemampuan untuk mengidentifikasi biomarker kejahatan telah menjadi kunci dalam memecahkan kasus-kasus yang paling rumit sekalipun. Biomarker kejahatan adalah zat biologis yang dapat ditemukan pada atau di sekitar tempat kejadian perkara (TKP), tubuh korban, atau pelaku, yang memberikan petunjuk penting tentang peristiwa yang terjadi, identitas individu yang terlibat, atau kondisi spesifik terkait kejahatan. Artikel ini akan mengupas peran vital identifikasi zat biologis relevan ini dalam investigasi kriminal.
Konsep biomarker kejahatan sangat luas, meliputi berbagai jenis molekul atau sel yang dapat dianalisis. Contoh paling umum adalah DNA, yang bisa ditemukan dari darah, air mani, air liur, rambut, atau sel kulit. DNA memberikan profil genetik unik yang dapat dicocokkan dengan individu tertentu, menjadikannya salah satu bukti paling kuat dalam identifikasi pelaku atau korban. Selain DNA, sidik jari juga merupakan biomarker yang telah lama digunakan, meskipun sifatnya lebih fisik daripada molekuler. Kemajuan teknologi telah memungkinkan identifikasi biomarker lain seperti protein, metabolit, atau bahkan mikroba.
Identifikasi biomarker kejahatan seringkali melibatkan teknik analisis yang sangat sensitif dan spesifik. Misalnya, untuk DNA, metode Polymerase Chain Reaction (PCR) digunakan untuk memperbanyak sampel DNA yang sangat kecil, diikuti dengan analisis profil DNA. Untuk protein, teknik seperti imunokromatografi atau spektrometri massa dapat digunakan untuk mengidentifikasi protein spesifik yang terkait dengan jenis jaringan atau kondisi tertentu, seperti keberadaan protein saliva atau protein yang dihasilkan oleh respons stres tertentu. Puslabfor Polri, pada pertengahan 2025, telah mengimplementasikan teknologi sekuensing DNA generasi berikutnya yang dapat menganalisis sampel yang sangat terdegradasi.
Selain identifikasi individu, biomarker kejahatan juga dapat memberikan informasi kontekstual yang berharga. Misalnya, analisis serangga forensik (entomologi forensik) dapat membantu menentukan waktu kematian korban berdasarkan siklus hidup larva serangga yang ditemukan pada jenazah. Analisis pollen (serbuk sari) dari TKP dapat menghubungkan seseorang dengan lokasi geografis tertentu. Bahkan, analisis microbiome (komunitas bakteri) pada kulit atau pakaian dapat memberikan petunjuk tentang aktivitas atau lingkungan seseorang. Pada sebuah kasus pembunuhan yang diselesaikan pada Februari 2025, analisis serat dan residu tanah yang mengandung biomarker tertentu berhasil mengaitkan tersangka dengan lokasi tersembunyi.
Pada akhirnya, kemampuan untuk secara akurat mengidentifikasi dan menafsirkan biomarker kejahatan adalah fondasi bagi penegakan hukum modern. Dengan terus berkembangnya ilmu forensik, setiap jejak biologis yang ditinggalkan di TKP berpotensi menjadi “saksi bisu” yang krusial, membantu mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan.